PPIM Rilis Temuan Baru Tren Beragama di Medsos
Jakarta, PPIM – PPIM UIN Jakarta melalui program Media and Religious Trend in Indonesia (MERIT) merilis temuan terbaru mengenai tren beragama di media sosial. Penelitian bertajuk “Beragama di Dunia Maya: Media Sosial dan Pandangan Keagamaan di Indonesia” ini dirilis oleh koordnator riset MERIT Iim Halimatusa’diyah, Ph.D dan data scientist Taufik Sutanto, Ph.D secara daring Senin (16/11).
“Penelitian ini mengkaji perkembangan pemahaman keagamaan di media sosial serta faktor dan konteks sosial serta politik yang mempengaruhinya. Paham keagamaan yang dikaji dalam penelitian ini meliputi paham liberal, moderat, konservatif, islamis dan radikal (esktremis),” ungkap Iim.
Rilis penelitian ini turut menghadirkan pakar dan peneliti yang mengkaji agama dan media. Nama-nama seperti Prof. M. Adlin Sila (Kepala Pusat Litbang Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan, Kementerian Agama), Dr. Pribadi Sutiono, S.S., M.A. (Ass. Dep. Koordinasi Kerjasama Asia, Pasifik, dan Afrika, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan) dan Alila Pramiyanti, Ph.D (Dosen di Telkom University) turut serta hadir membahas hasil penelitian ini.
Iim menjelaskan penelitian ini mengambil data dari dua platform media sosial yaitu Twitter dan YouTube dalam rentang waktu 2009-2019. Data yang ada dianalisis untuk melihat tren dan pola persebaran yang terjadi di media sosial itu secara kuantitatif. Selain itu, penelitian ini juga melakukan wawancara mendalam terhadap beberapa tokoh kunci untuk mendapatkan data secara kualitatif.
Dominasi Konservatisme
Temuan utama penelitian ini adalah adanya dominasi narasi paham keagamaan konservatif di media sosial. Walaupun pemahaman keagamaan lain juga banyak mewarnai diskursus agama terutama di platform twitter, namun dengung konservatisme menguasai perbincangan di ranah maya dengan persentase (67.2%), disusul dengan moderat (22.2%), liberal (6.1%) dan Islamis (4.5%). Sejak 2009-2019, penggunaan hashtag (tanda pagar, tagar) yang bersifat konservatif menjadi yang paling populer. Hashtag yang bersifat netral penggunaannya bahkan kerap dikaitkan dengan paham keagamaan konservatif.
“Narasi konservatif yang banyak muncul di media sosial umumnya terkait isu perempuan, hubungan negara, warga negara dan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, serta terkait amalan-amalan baik dan buruk,” ungkap Iim.
Iim juga menyebut pembahasan tematik di media sosial juga didominasi oleh narasi konservatif. Dalam tema gender misalnya, paham konservatif banyak digunakan dalam membangun pandangan mengenai subordinasi perempuan. Mengabaikan kesetaraan, narasi mengenai perempuan hanya berkutat pada ruang lingkup yang terbatas pada perannya sebagai anak, ibu dan istri.
“Penelitian ini juga menunjukan bahwa perempuan lebih rentan terhadap paparan fanatisme paham keagamaan dibandingkan laki-laki. Oleh karena itu, dominasi narasi konservatif di isu gender dan tingginya proporsi narasi konservatif di kalangan perempuan bisa melahirkan transmisi konservatisme antar generasi,” ungkap dosen FISIP UIN Jakarta ini.
Politisasi Narasi Keagamaan
Temuan lain dari penelitian ini adalah terkait politisasi narasi keagamaan yang berdampak bagi peningkatan paham konservatisme di media sosial. Hal ini terlihat dari tingginya keterkaitan isu agama dengan politik. Konteks politik berperan penting dalam konstruksi narasi keagamaan di media sosial. Isu agama di Twitter banyak mengalami perubahan sesuai dinamika kondisi politik.
Hashtag keagamaan umum meningkat di bukan tahun politik namun menurun di tahun-tahun politik. Sedangkan hashtag politik banyak muncul di tahun politik terutama sejak pemilu 2014. Hal ini menunjukkan bahwa kompetisi politik di Indonesia seringkali berkisar di isu agama. Narasi agama pada umumnya dimanfaatkan untuk kepentingan politik sebagai sumber perebutan massa.
“Politisasi narasi agama tidak hanya dilakukan oleh partai Islam tapi juga oleh hampir semua partai politik termasuk partai Nasional. Terjadi fenomena diseminasi konflik kepentingan elit di ruang publik melalui persebaran narasi keagamaan di media sosial,” papar Iim.
Pulau Jawa dan Kontestasi Paham Keagamaan
Secara geografis, penelitian ini menemukan fakta bahwa Pulau Jawa adalah arena dimana kontestasi paham keagamaan terjadi khususnya di Jakarta. Paham moderat mendominasi wacana di ruang maya dengan 67,11%, disusul konservatif (60,11%), Islamis (53,19%) dan liberal (44,64%). Terlebih lagi jika pandangan konservatif diasumsikan kompatibel dan selaras dengan islamis karena perbedaan keduanya hanya terletak di visi pembentukan negara islam, maka gabungan keduanya mendominasi kontestasi paham keagamaan.
kasus Ahok dan Pilkada Jakarta menjadi faktor besar dalam kontestasi pemahaman agama di media sosial. Selain Jakarta, narasi paham liberal banyak muncul di Jawa Timur dengan proporsi mencapai 22.62%. Kontribusi kelompok muda dan progresif di tubuh NU (Nahdlatul Ulama) di Jawa Timur cukup berperan bagi tingginya proporsi liberalisme di Jawa Timur. Sejalan dengan temuan riset lainnya, Jawa Barat, menempati posisi sebagai provinsi yang memiliki proporsi narasi Islamis dan konservatif yang cukup tinggi diangka 15% dan 10%.
Provinsi Aceh dan Sulawesi Selatan yang juga tergolong menjadi 10 besar provinsi dengan proporsi konservatisme tertinggi. Akan tetapi provinsi DI Yogyakarta, Papua dan Sumatera Utara yang notabene bukan provinsi dengan mayoritas penduduk Muslim dan juga bukan basis utama partai-partai Islam, justru memiliki proporsi paham konservatif dan islamis yang cukup tinggi. Hal ini makin memperjelas dominasi politisasi narasi keagamaan untuk kepentingan perolehan dukungan politik.
Paham Moderat Cenderung Diam
Temuan lain yang mengkonfirmasi dominasi konservatisme agama di jagad maya adalah aktor sentral dalam konstruksi narasi keagamaan di media sosial dikuasai oleh akun-akun yang cenderung berpaham islamis dan konservatif. Akun tersebut memiliki potensi viralitas tweet keagamaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang moderat.
“Meskipun paham moderat memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan Islamis, namun sifat partisipasinya yang cenderung diam jauh terkalahkan oleh gerakan islamis yang lebih aktif bersuara,” ungkap Iim.
Temuan ini semakin menguatkan posisi kelompok islamis sebagai noisy minority, kelompok dengan jumlah sedikit namun gaungnya lebih besar di media sosial. Terlebih lagi, temuan lain yang berhasil diambil dari sentralitas aktor adalah tertutupnya jaringan sosial yang terbentuk antar klaster akun di twitter.
Penulis: Endi Aulia Garadian
Editor: M. Nida Fadlan